PASARIBU DAN SARUKSUK” : HASIL DIALOG NASIONAL 24 Oktober 1988
Pengalaman silsilah (tarombo) didefenisikan sebagai pencarian realitas asali. Dan dalam rangka pencarian ini, penyilsilah sering merasa terdorong untuk menegaskan bahwa silsilah yang dimiliki sebagai paling otentik dan karenanya harus dianggap paling sah. Banyak diantara mereka memperlihatkan kecenderungan terselubung untuk menyatakan diri sebagai yang paling benar, lalu menawarkan silsilah yang dia miliki sebagai satu-satunya pilihan menuju kepastian posisi dalam silsilah. Sikap seperti ini kiranya bertengah dengan, apabila, menerima setiap ungkapan mengenai realitas asali yang, lain dari pada ungkapan sendiri. Suatu kenyataan dan mengaburkan susunan keluarga Batak dewasa ini ialah adanya berbagai ragam dan versi silsilah beredar dan dimiliki masing-masing sebagai satu-satunya kebenaran.
Dalam komunitas Pasaribu Saruksuk pun pernah terjadi hal serupa, terutama tahun 1965, yakni, sejak munculnya satu versi silsilah berjudul Tarombo Pasaribu Habeahan di Medan. Dalam silsilah versi itu posisi Raja Saruksuk ditempatkan mengisi posisi Raja Manuksuk pada silsilah Pasaribu Habeahan. Silsilah rekayasa ini kemudian diseremonialminikan oleh St. Rellius Saruksuk Gg. Halat, di Medan. Mulai saat itu disitu dan di Jakarta Pusat yang disponsori oleh Rafidin Pasaribu Saruksuk BA posisi Saruksuk dalam komunitas Pasaribu menjadi gamang. Sebelumnya di Tapanuli Tengah Saruksuk merupakan si bungsu dari empat bersaudara, Habeahan, Bondar, Gorat dan Saruksuk di tetapi sejak munculnya posisi Saruksuk mengisi Manuksuk, sub unit Saruksuk jadi hilang dan tampil dalam posisi baru yakni Habeahan, yang tadinya Saruksuk anak bungsu berubah menjadi anak sulung. Perubahan posisi ini menimbulkan masalah besar di kalangan Pasaribu khususnya di Pasaribu Tobing dan Pasaribu Dolok, Tapanuli Tengah tempat Raja-Raja Saruksuk membangun “tahta “(huta) yakni di Rabaraba, Lobu Sampetua, Tarutung Siduadua, Jampalan Bidang, Lobu Siala, Sarumatinggi, Siangirangir, Sibatunanggar, Janji Nauli, Bonandolok, Sirau, Panorusan, Longgang, Tomaginjang I, Tomaginjang II, Lumbang Baringin, Batu Ronggang, Rianiate, Sidimpuan, Sibatubatu, Pansuran Dewa dan Aek Rogas. Untuk mengatasi masalah ini komunitas Saruksuk menggagas suatu pertemuan yang luas dan mencakup keseluruhan keluarga-keluarga Saruksuk. Pertemuan ini disebut Dialog Nasional, 23-24 Oktober 1988, di Sirau, Kecamatan Sorkam, Tapanuli Tengah. Turut diundang dan hadir disitu pengurus Pasaribu Kota Medan, dan tokoh-tokoh unit marga Pasaribu dalam lingkup Borbor, Tapanuli Tengah. Ada tiga hal yang dituntaskan dalam forum itu yakni, 1). Orang pertama yang menyandang “Pasaribu”. 2). Posisi Saruksuk dalam silsilah Batak. 3). Silsilah turunan (Pomparan) Saruksuk.
Selama dua hari pertemuan berdialog itu, memasuki hari kedua yang semula diperkirakan berjalan alot dan banyak debat ternyata berjalan sangat mulus. Para peserta dialog sangat lega karena semua undangan di luar Saruksuk memiliki informasi tentang Pasaribu sama dengan yang diketahui Saruksuk selama ini. Karena itulah secara amat mudah keputusan dapat dicapai sebagai berikut :
Pertama : Sariburaja I yakni putera ke-dua Guru Tatea Bulan, sesudah Raja Uti, adalah orang pertama penyandang Pasaribu, yakni nama dan martabat (sangap) keluarga Guru Tatea Bulan yang harus dipelihara terus-menerus oleh seluruh turunan dari ibu Nai Margiring Laut, first lady dari Sariburaja I sejak dari Borbor selaku “Putera Mahkota”.
Kedua : Saruksuk berada pada posisi putera ke-empat dari Datu Dalu / Sangmaima sesudah Habeahan, Bondar dan Gorat. Saruksuk terkenal sebagai erha karena dalam episode persaingan menghadapi ketangguhan Datu Pulungan Tua, Datu Dalu menjadikan Saruksuk menjadi erha untuk memenangkan pertarungan itu dengan cara diplomasi dan berhasil sukses untuk kemenangan Datu Dalu.
Ketiga : Sejak Dialog Nasional itu, silsilah Pasaribu Saruksuk sudah final dan ditandatangani oleh masing-masing rumpun (ompu) tanggal 24 Oktober 1988. Hasil Dialog Nasional itu telah dibukukan dengan judul “Pasaribu Saruksuk” memuat resensi, dari majalah BONANIPINASA, dan sambutan dari Ketua Umum Parsadaan Pasaribu dan Boru-Berena, Bandung, Cimahi, J. Pasaribu (Bondar) memuji, terutama dari segi proses, prosedur dan tata tertib Dialog Nasional karena, “Hasil yang baik diperoleh melalui cara yang baik”.